Tulisan dibawah ini mungkin ada benarnya. Memang butuh kecermatan memilah dan meilih berita agar pikiran kita, otak kita tidak dibentuk oleh berita karena terdapat banyak motif tersembunyi dibalik diterbitkannya berita, tanpa sepengetahuan pembaca..


Oleh:
Embun Pagi
22 Januari pukul 13:53

TAWAN. From hero to zero, mungkin begitulah nasib Tawan alias I Wayan Sumardana, pemuda tukang las asal Karangasem. Usai dihebohkan melalui pemberitaan berantai, sekarang segala kenyinyiran dan hinaan diarahkan kepadanya. Dari puja-puji hebat berjuluk Iron Man dari Bali, kini dihakimi bak penipu yang menggondol harta orang banyak.

Tak perlu menjadi cemerlang untuk tau, Tawan tidak pernah meminta publikasi, semisal agar dikatrol menjadi selebriti. Tak ada konfrensi pers yang sengaja dia rancang guna menceritakan ini atau itu. Dia bukan artis yang haus popularitas, dia cuma tukang las. Popularitas yang direngkuhnya merupakan kerjaan media, sesuatu yang kemudian dengan cepat berubah menjadi bencana.

Disini, saya tak hendak mengulas validitas tehnologi tangan robotnya. Saya kelewat awam mengenai hal itu. Saya sekedar ingin melihat Tawan sebagai manusia. Sekarang ini, badai penghakiman sedang meliuk-liuk demikian kencang. Sekumpulan ahli tanpa sungkan bilang, tehnologinya palsu. Lebih jauh lagi, dia didakwa berbohong soal kelumpuhan tangannya. Tuduhan ini bisa jadi benar, tak menutup kemungkinan salah. Tawam mungkin sudah berkata jujur, mungkin juga sebaliknya. Saya tak hendak mendebatkannya.

Saya akan menilik hal lainnya. Dimulai dengan pertanyaan, siapa gerangan yang memulai segala 'kericuhan'? Saya pelan-pelan merasa jawabannya ialah media. Semua paham, di jagad media online dewasa ini, -dimana kecepatan dan kabar gres serta fantastis akan mendulang rombongan viewer yang kalap untuk datang-, makin hari akurasi malah serupa penghalang yang harus disingkirkan. Toh, dalam peluh kerja awak media, apalagi yang dibutuhkan selain berita menjadi viral, pun nama media makin berkibar.

Saya tidak tau bagaimana sesungguhnya kode etik peliputan dilaksanakan. Saya tak paham ukuran berita layak disampaikan atau tidak. Saya tak pernah menjadi jurnalis. Tapi bolehlah ada pertanyaan gampang-gampangan: apakah sesuatu yang masih lemah akurasinya boleh secara serampangan disajikan? Disebarkan dengan berjejal frasa-frasa menakjubkan, seolah segalanya sudah bisa dipastikan, sehingga tak perlu rujukan ahli atau opini pakar.

Publik dibiarkan percaya dulu, sebab kalau tak pecaya, apalah yang harus dijual. Atas kegelisahan di atas, sila wartawan atau siapa saja yang pernah menggeluti bisnis pemberitaan memberikan jawaban. Yang sedikit saya tau saja, katakan pada kasus Teror Sarinah kemarin, KPI menjatuhkan sanksi kepada berbagai stasiun televisi. Salah satunya karena pemberitaan nir akurasi. Spekulasi.

Dan dunia dalam kuasa kapitalisme. Dalam kapitalisme sendiri tertancap hukum besi yang berbunyi: apapun yang berpotensi menghadirkan untung harus diambil. Lebih cepat lebih baik. Lebih beringas, mungkin makin bernas. Ini bukan soal baik atau buruk, melainkan tentang potensi profit dan kecepatan akumulasi yang mesti didulang. Hal yang tak berbeda berlaku pula bagi kapitalis media. Isi kepalanya adalah laba. Boleh-boleh saja menyangkalnya, tapi sampai hari ini saya kekeuh untuk percaya, motif laba merupakan berhala utama dalam corak produksi kapitalisme.

Lantas, sebagaimana sandal, shampoo atau barang elektronika, I Wayan Sumardana bernilai serupa komoditas belaka. Sesuatu yang diproduksi guna dijual. Dalam kasus ini, dijual ke pasar pemberitaan. Sementara pada pasar konvensional, bila kau menjual ponsel lazimnya pembeli akan menuntut garansi. Garansi setara ukuran pertanggungjawaban atas produk yang dijual. Sedangkan betapa beruntungnya media online ini, mereka tak perlu repot-repot dengan urusan tersebut. Lagipula, ini kan cuma cerita tukang las asal Bali, jika kemudian hari meleset, toh dia jugalah yang akan dibully.

Gelombang viewer telah datang. Laba tuntas ditelan. Media terus melenggang. Tak perlu baper, bawa-bawa perasaan. Biar saja tukang las yang menghadapi masalah lanjutannya sekarang. Ingat, klas menengah di media sosial kita terkenal sangat ganas. Teror saja ditertawakan. Maka, jika salah kau akan dilibas. Terlebih bagi rakyat jelata seperti dirimu, Bli !

*****

Posting Komentar

 
Top